Sebersit Kisah Masa Lalu
Mari pergi berkelana... berkelana ke
dunia khayal yang penuh harap. Dunia yang membuat semua orang bisa mengabulkan
semua keinginannya. Mari kita pergi ke awan... menggapai semua harapan yang
ingin ku raih. Aku mengatakan itu pada diriku sendiri. Aku merasa ada yang
salah dalam diriku. Aku baru mengenalnya. Mungkin dulu aku sudah mengetahuinya,
hanya saja aku tidak tau namanya.
Aku baru mengenal namanya di situs
jejaring sosial facebook. Dia yang
sering pergi ke warnet rumahku, dan hampir setiap hari aku bertemu dengannya.
Rasaku biasa, rasaku hambar. Sama ketika aku bertemu dengan orang lain yang tak
aku kenal. Tapi dia selalu memandangiku. Saat dia menatapku, sorot mata itu.
Mata yang membuatku merasa gembira. Sorot mata yang membuatku memikirkan
tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Tapi sorot mata itu, aku
sekarang membencinya. Membenci karena dia bisa merubahku. Dia bisa merubah
sikapku begitu ramah padanya.
***
Aku
menjadi malu dibuatnya. Aku menjadi orang bodoh yang setiap jam, menit,
detik... aku selau berfikir tentangnya. Tentang hidupnya. Aku serasa ikut
menangis saat aku memikirkan tentang hidupnya di Jakarta. Hidup dikota besar
yang penuh dengan segala hal tipu daya. Hidup yang kata orang enak, banyak
lapangan kerja. Tapi menurutnya tidak.
“Hidup di
Jakarta itu nggak enak. Aku juga nggak betah ada disini.” Itu yang dia katakan
saat bertemu denganku.
Aku mengerti kenapa dia bilang seperti
itu... karena aku tau dia hidup disana hanya untuk di sia-sia kan.
Dia juga pernah bercerita kepadaku, ”Aku
hidup di Jakarta memang sama papa. Tapi sebenarnya aku nggak hidup sama dia.
Aku hidup bersama teman-temanku.” Aku termangu, aku bingung apa maksutnya
“hidup bersama teman-temannku”.
Aku bertanya padanya. Dan yang ia
katakan hanya, “Ayah nggak peduli sama aku, dan aku kabur dari rumah.” Ketika
itu aku menangis, menangis dalam diam hatiku. Menangis tanpa air mata, hanya
sebuah kesedihan yang aku anggap langka. Aku tak terbayang, bagaimana jika
seandainya aku berada di posisinya sekarang. Mungkin aku langsung pergi kembali
ke tempat asalku. “Kalau aku kembali ke sini, di Jombang. Ayah pasti bakal
marah sama aku, dan imbasnya pasti pada Ibu disini.” Iya orang tua nya memang sudah
bercerai. Dan selalu... setiap perceraia orang tua pasti imbasnya kepada
anak-anak mereka.
***
Aku
merengkuhkan kakiku di sudut kamarku, memandang awan yang indah disana, seakan
mereka hidup damai. Dan aku berpikir kembali, untuk apa seorang ayah menyuruh
anaknya tinggal bersamanya jika hanya di sia-siakan. Apa ayah seperti itu tidak
pernah berpikir bagaimana sakit hatinya seorang anak ketika harus hidup
sendirian dalam sebuah kota yang pergaulan hidup remajanya tak begitu bagus.
Bukankah seharusnya remaja seperti dia mendapat bimbingan hidup dari kedua
orang tua yang di kasihinya. Aku tak mengerti kenapa sikap manusia selalu
sekejam ini kepada kami para anak yang baru beranjak dewasa. Kami yang belum
mengerti bagaimana dan sejahat apa kehidupan didunia ini.
Aku
pernah membaca status facebook nya
“Aku ingin keluarga yang utuh.” Setiap anak dan setiap manusia yang hidup di
dunia ini pasti menginginkan punya keluarga. Kasih sayang keluarga saja bisa
membuat hati merasa damai hidup di dunia ini. Jika mungkin ada yang menganggap
hidup sendirian itu lebih baik, mereka pasti berbohong.
Dia
pernah mengirimkanku sebuah pesan “Kamu belajar yang rajin ya” itu membuatku
jadi terhanyut. Terhanyut dalam sebuah perhatian kasih yang selama ini aku
rindukan. Aku merindukan kasihnya yang dulu. Kasihnya yang selalu
menghangatkanku dengan sejuta harapannya agar aku tidak menjadi seperti
dirinya.
Dia selalu mengingatkanku harus terus
semangat sekolah. Tapi setiap dia berkata seperti itu aku selalu balik
bertanya, “kenapa kamu selalu semangatin aku buat sekolah. Lalu kenapa kamu
sering banget bolos sekolah?” lalu dia terdiam, seakan berpikir harus menjawab
seperti apa. “Buat apa aku sekolah, ayah aja nggak peduli aku sekolah apa
nggak.” Dan aku menjawab,”kalau mungkin ayah kamu nggak peduli, seenggaknya
kamu bisa lakukan ini buat ibu kamu kan? Kamu nggak kasian apa sama ibu kamu?“
Tapi dia hanya diam, tak mau membalas pertanyaanku yang seperti itu. Mungkin
dia malas menjawab pertanyaanku.
Dan
saat aku mengingatnya, aku tiba-tiba meneteskan air mata. Lalu aku menyalahkan
diriku sendiri. Kenapa aku harus memikirkannya? Sekarang saja dia sama sekali
sudah tidak peduli denganku. Tapi aku berpikir lagi, “kalau aku tidak
memikirkannya, lalu siapa yang akan peduli dengannya? Siapa yang akan berpikir
bagaimana keadaannya yang sekarang?” Tapi aku kembali bingung dengan perasaan
ini. Aku mempunyai rasa yang salah atau tidak?
Jujur
saja, dia yang membuatku mengerti asyik nya jadi remaja SMA itu seperti apa.
Dia yang memberiku setitik kebahagiaan yang sebelumnya aku tidak rasakan. Dan
dia yang memberiku tawa, senyum, sedih, atau air mata saat aku mengingat kisah
hidupnya dikota sana. Tapi ini semua terasa lucu, aku tiba-tiba mengenalnya dan
kemudian aku mulai menyukainya. Rasa suka yang sebelumnya memang sudah aku
rasakan. Tapi aku anggap ini hanya sebuah imajinasi cinta anak SMA. Tapi aku
menyadari dia lah yang membuatku menjadi seperti apa diriku yang sebenarnya.
Aku ingin membalas baik hatinya itu.
Dengan membuatnya berpikir, jangan menyimpan dendam pada ayahnya. Mungkin
ayahnya hanya salah dalam mengartikan kasih sayang untuk dirinya. Dan
bagaimanapun, karena ayahnya lah yang membuat dia ada di dunia ini. Merasakan
keindahan hidup yang sebenarnya semua orang bisa mendapatkannya. Hanya mereka
belum tau, bagaimana mereka menempatkan diri mereka senyaman mungkin menjalani
hidup yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Begitu juga dengan dia, aku sadar
mungkin saat ini dia menjadi remaja yang nakal karena dia berontak dengan
dirinya sendiri. Melawan semua pikiran bahwa dia hidup disini sendirian. Dan
aku akan meyakinkannya bahwa ini mungkin hanya cobaan dari Tuhan. Supaya dia
bisa mencari cara bagaimana dia keluar dari hidup yang dia anggap tak nyaman
ini.
Tuhan pasti selalu kasih jalan untuk hambanya
bukan? Dan aku akan memberi tau dia, bahwa hidup disini bukan untuk di sia-sia
kan. Tapi untuk di nikmati dengan sesuatu hal yang positif. Dan aku juga akan
memberi tau dia, bahwa hidup didunia ini nggak pernah sendirian. Jika mungkin
disana ayahnya tak peduli, masih ada ibunya. Masih ada sahabat-sahabatnya.
Masih ada teman-teman yang selalu menganggapnya ada. Tapi aku akan memberi tau
nya nanti. Saat aku bertemu lagi dengannya. Saat dia sudah peduli lagi
denganku.
Terima
kasih untukmu yang telah memberiku sebuah masa yang indah. Sebuah rasa yang
membuatku seakan melayang di udara, walaupun seketika itu kau langsung
menjatuhkanku. Sekarang giliranku untuk memberimu arti bahwa hidup itu indah.
Tapi saat kau sudah peduli dengan kataku lagi.
Komentar
Posting Komentar