Cerpen : Di Sudut Hatinya



Di Sudut Hatinya
Anak laki-laki itu, Jordan. Dia duduk diam bersama beberapa botol alkoholnya. Di tangan kanannya terselip sebatang rokok diantara jari-jari tangannya. Ia menghisapnya dalam-dalam. Lalu menahannya sejenak, meresapi setiap nikotin sampai ke paru-parunya. Lalu, menghembuskannya bersama dengan perasaan lega dalam batinnya.
            Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang. Ia menoleh, dan didapatinya segerombolan preman berjalan kearahnya. Ia panik, dan ia bingung. Kenapa orang-orang ini mencariku? Apalagi yang mereka inginkan. Anak laki-laki itu ingin berlari, tapi untuk apa lari? Gue sudah lelah terus bersembunyi dari mereka itu pikirnya.
            “Anterin barang ini ke bos?” Kalimat yang terdengar dari salah satu preman itu.
            “Barang apa lagi? Kan udah gue bilang. Gue nggak mau jadi budak kalian lagi. Gue berhenti jadi pengedar.”
            “Apa lo bilang? Nggak ada yang namanya berhenti. Lo harus terus jadi pengedar gue. Lo mau makan apa tanpa ini? Inget ya, gue yang dulu tolongin lo waktu bokap lo meninggal dan lo harus jadi tulang punggung keluarga lo.” Preman itu mulai marah dengan apa yang di katakan anak laki-laki itu.
            Setelah ayahnya meninggal, ia hanya hidup bertiga bersama adik perempuan dan mamanya. Dan ia berubah menjadi sesosok anak laki-laki yang berbeda. Mencari kesenangannya sendiri di dunia luar. Hingga ia menjadi seorang pengedar narkoba untuk membantu ibunya mencari uang. Salah pergaulan. Itulah yang dialami olehnya sekarang. Berteman dengan anak-anak yang bernasib sama sepertinya. Menjadi tulang punggung keluarga walaupun sebenarnya mereka masih perlu sekolah. Tapi kenyataan hidup berkata lain.
            “Gue udah berhenti. Gue nggak mau berurusan sama kalian-kalian lagi.” Ia menunjuk satu persatu dari segerombolan preman itu. Lalu pergi.
            Tapi sebelum ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba tangan kanan ditarik oleh salah satu preman itu. Dan mulailah perkelahian itu berlangsung. Memusatkan setiap pukulan ke tubuhnya. Preman itu seakan tak punya rasa ampun dan terus berteriak marah tidak menerima dengan ucapan Jordan. “Aku memang berterima kasih pada kalian. Tapi aku tau ini salah. Ini pekerjaan yang salah. Gara-gara ini gue di usir sama nyokap gue. Dia udah nggak anggap gue anak. Terus buat apa gue taruhan nyawa buat nyari duit dengan cara seperti ini.” Sambil memegang rahangnya yang mulai mengeluarkan darah
            “Kalau lo tau ini salah, kenapa lo nggak nolak dari awal. Lo hidup bego banget si. Kita disini itu akibat dari kekejaman hidup yang nggak mampu kita lewatin.”  Preman itu terus menonjokkan setiap pukulan yang membuat anak laki-laki itu semakin tak berdaya.
            Memar di tubuh Jordan  itu tidak sedikit. Ada banyak darah yang tercecer di tanah. Warna tanah yang coklat bercampur warna darah yang sungguh mengenaskan jika di pandang. Hidup disini tidak mudah. Hidup disini harus memilih. Memilih seperti apa manusia akan menjadi hidupnya. Memilih bagaimana manusia bisa mengambil kebahagiaannya. Jordan itu anak sulung. Dia anak yatim. Sekarang hanya ibu dan adik perempuannya yang ada dalam pikirnya.
***
Jordan tau, ia harus menggantikan posisi ayahnya yang telah tidur tenang disisi Tuhan. Ia harus menjaga ibu dan adiknya. Ia tak mungkin begitu saja melihat ibu nya bekerja sendirian. Mengeluarkan setiap tetes keringat demi mendapatkan beberapa lembar uang. Menukarkannya dengan butiran-butiran berasa yang akan ditanak menjadi nasi. Pengisi perut dan penghasil tenaga. Tapi ia menyadari, pilihan yang dipilihnya untuk menjani hidup dalam keremangan kota yang begitu banyak hingar bingar hidup yang hanya sesaat, itu salah.
Kesalahan dalam pikirnya kenapa gue dulu harus ikut sama mereke kalau harus bikin mama nangis. Bukannya dulu dia tak menolak, sejak awal ia sudah tak menginginkan jalan ini. tapi keadaan yang memaksanya untuk tidak bisa berpikir panjang.
***
            Ia berjalan menyusuri setiap sudut gang kecil yang terletak tidak jauh dari pusat kota. ia berjalan terseok-seok dengan tangan kiri memegang rahangnya yang masih terlihat ada sedikit darah, dan tangan kanannya memegang perutnya yang terasa perih. Pipinya memar.
            “Kakak kenapa?” Saat sang adik membukakan pintu untuk sang kakak, Jordan. Dengan langkah tergontai-gontai ia memasuki rumahnya.
            “Aku nggak apa-apa. Mama ada di rumah kan?”
            “Mama belum pulang kak.”
            “Ada apa kamu kemari? Masih anggap ini rumah kamu?” Lalu sang Ibu datang. Bersamaan dengan raut wajah yang tidak bisa di tebak. Dia menatap anaknya. Dari ujung kaki hinggap ujung rambutnya. Lalu, matanya mulai berair. Tetesan air mata itu mulai menghiasi pipi merah sang ibu yang sedang menatap anaknya dalam kesedihan. “Mama lelah, mau istirahat.” Katanya dan berlalu meninggalkan kedua anaknya yang sedang terpaku.
            “Mau aku ambilin obat? Kita obatin luka kakak ya?” Ucap sang adik yang kasihan melihat sang kakak yang menahan sakit pada badannya.
“Iya.”
***
            “Aku minta maaf ma, udah bikin mama nangis lagi. Aku tau ini salah. Dan aku sudah tidak ingin melakukannya lagi. Mama jangan usir aku ya?” Pinta Jordan yang sedang terduduk memohon maaf pada sang ibu.
            “Kenapa kamu hancurkan setiap harapan mama Jo.”
            “Aku minta maaf ma. Aku hanya ingin membantu mama cari uang untuk makan kita, untuk sekolah Dinda.”
            “Dengan kamu berhenti sekolah dan bergaul sama pengedar itu?” Kata sang Ibu sebari terisak.
            “Papa udah nggak ada ma, aku anak sulung. Jadi aku harus cari uang untuk kalian dan melindungi kalian. Aku sayang sama mama dan Dinda”
“Papa kamu memang sudah pergi meninggalkan kita dan kembali kepada Tuhan, jadi ini tanggung jawab mama untuk mencari uang.”
“Tapi aku nggak tega kalau harus melihat mama kerja banting tulang sendirian untuk kami. Aku tau cara aku untuk bantu mama kemarin salah. Aku minta maaf ma”
“Kalau kamu ingin membantu mama, tolong turuti pinta mama. Kamu kembali sekolah dan jangan bergaul dengan para pengedar itu lagi.” Seketiak suasana jadi hening. Yang ada hanya suara tangis sang Ibu yang sesekali memecahkan setiap keheningan dalam pikiran mereka berdua. “Mama masih mampu untuk menghidupi kalian, membesarkan kalian walaupun hanya sendirian. Lakukan apa yang mama mau?”
“Baiklah ma, aku akan sekolah lagi. Tapi izinin aku untuk bantu mama cari uang juga? Kali ini aku janji bakalan cari sesuatu yang halal dan nggak ngebahayain diri aku sendiri.” Lalu,  Jordan mengusap air mata yang membasahi pipi sang ibu dan bersimpuh pada sang Ibu untuk meminta maafnya.
            Rasa kasih Ibunya tak mungkin akan ia sia-sia kan begitu saja dengan terus membuat ibunya menangis. Hidup disini bukan untuk melukai sang Ibu. Bertahan hidup disini karena ia ingin menjaganya.



Recycle dari blog yang lama. Arsip blog hari Rabu, 19 Juni 2013.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Jawaban

Saatnya memulai...

Aku ingin menulis tentang hari ini