Flash Fiction: Mereka Butuh Tangan dari yang Ikhlas



Aku melangkahkan kaki-kakiku pergi mengikuti arah angin. Pergi bersama perasaan yang sedang tidak baik-baik saja. Aku begitu bingung, kapan aku mengucap syukur dengan apa yang sudah aku miliki. Kapan terakhir kali aku berbagi kepada mereka yang lebih membutuhkan.
            Langkahku berhenti pada satu tempat yang sering aku lewati. Tapi aku tak pernah melihat apa yang ada di sekitar tempat ini. Langkah kaki-kakiku berhenti di tempat yang menurutku tidak layak menjadi tempat hunian. Bukan tempat yang cukup menyenangkan bagi anak-anak kecil bermain dengan ribuan rasa keceriaan mereka. Itu menurutku!
            Tapi ada sesuatu yang lain di mata mereka. Di mata para anak-anak bumi pertiwi ini. Mereka berlari kesana kemari, penuh raut kebahagiaan, penuh dengan canda tawa. Seperti tak ada beban dipikiran mereka. “Benar saja, mereka kan masih anak-anak. Apa yang akan mereka pikirkan dengan usia belia.” Seakan spontanitas aku mengatakan seperti itu. Aku menyapa mereka dan memotret kecerian yang ada dalam wajah mereka. Sayang sekali jika wajah polos penuh rona bahagia di tempat seperti ini tidak diabadikan. “Hai adik-adik kalian sedang bermain apa? Kakak boleh memotret kalian nggak?” tanyaku padaku mereka meminta persetujuan. “Iya kak nggak apa-apa. Kita malah seneng kakak mau fotoin kita-kita ini.” Salah satu dari mereka menjawab tanyaku dengan sopan. Mereka berpose dengan wajah lucu mereka. Ada yang jari telunjuk ditaruh di lesung pipi, ada yang menjulurkan lidah, ada yang melipat kedua tangan seakan sedang marah. Ceria. Begitu indah dipandang setiap orang.
Tapi... di sudut tempat pembuangan sampah ini, aku melihat sesuatu yang lain. Seorang anak laki-laki yang sedang sibuk sendiri dengan kegiatannya. Aku menghampirinya. “Hai adik, kamu ngapain? Kenapa nggak ikut main sama mereka?” Aku menunjuk ke kerumunan anak-anak yang sedang bermain tadi. “Lagi bersihin botol bekas ini kak. Aku nggak ada waktu untuk bermain. Waktu jangan di buang-buang percuma. Lebih baik cari uang untuk makan.” Jawabnya begitu saja tanpa melihatku. Tapi aku tersontak dengan jawaban itu. Kenapa dia mencari uang. Bukankan ini saat untuk dia bermain. Kemana orang tuanya. “Kenapa kamu yang cari uang? Orang tua kamu kemana dik?” tanyaku dan aku mulai membantunya memilah-milah botol bekas itu. “Aku tulang punggung keluarga. Aku harus kasih makan adik-adik aku yang masih kecil. Orang tuaku udah meninggal karena kecelakaan 3 tahun yang lalu. Orang yang menabrak orang tuaku tidak mau bertanggung jawab.”
Terbesit tanya dalam pikiranku, “orang tidak mau betanggung jawab pada kesalahannya” orang di jaman sekarang memang lebih banyak mengepentingkan ego dari pada orang lain. Dan aku berpikir, anak sekecil ini saja sudah mengerti bagaimana caranya untuk menghidupi adik-adik kecilnya. Aku yang selama ini masih bergantung pada orang tuaku saja terkadang masih marah karena kurang ini lah... kurang itu. Dari pada mengeluh terus menerus, kenapa tidak membagikan apa yang sudah dimiliki yang sudah tidak digunakan pada orang lain. Daripada dibuang begitu saja kan mubadzir. Memberi itu lebih baik dari pada menerima. Bukan berarti menerima itu salah. Tapi Allah itu Maha Adil. Ada kalanya orang ada di atas. Dan ada kalanya orang dibawah. Ikhlas memberi bisa mengurangi beban keinginan yang ada dalam diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Jawaban

Saatnya memulai...

Aku ingin menulis tentang hari ini